PENGGORENGAN DALAM MINYAK BERLEBIH (DEEP FAT FRYING)
Penggorengan pada dasarnya merupakan proses
pemanasan dengan menggunakan minyak goreng sebagai media penghantar panas. Ada
berbagai teknik penggorengan seperti surface frying, shallow frying dan deep
fat frying. Deep fat frying merupakan
satu teknik yang paling umum digunakan baik di rumah tangga, jasa boga maupun
industri pangan. Produk gorengan sendiri sangat disukai konsumen karena tekstur
dan citarasanya.
Proses penggorengan dengan sistim deep fat frying
Deep fat frying merupakan teknik penggorengan yang menggunakan
minyak dalam jumlah banyak sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya di
dalam minyak, selama proses penggorengan berlangsung. Minyak goreng berfungsi
sebagai media pemanas. Proses penggorengan berlangsung pada suhu di atas titik
didih air, biasanya antara 170°C sampai 190°C. Panas yang dipindahkan dari
minyak goreng ke makanan akan membantu dalam pembentukan warna dan flavor.
Selama proses penggorengan, terjadi beberapa tahapan berikut:
ü Penurunan suhu minyak
goreng akibat dari masuknya makanan, sementara panas tambahan akan dipasok oleh
sumber panas;
ü
Peningkatan suhu
makanan yang digoreng;
ü
Perubahan air
dipermukaan dan di bagian dalam makanan menjadi uap air;
ü
Pengeringan permukaan
(pada produk tebal) atau seluruh bagian produk (pada produk tipis) karena
penguapan air yang terjadi secara bersamaan dengan penyerapan minyak;
ü
Terjadinya reaksi
antar komponen pangan yang bersama-sama dengan minyak akan membentuk warna,
citarasa dan tekstur yang diinginkan.
Suhu proses penggorengan terutama ditentukan oleh karakteristik
produk yang diinginkan disamping pertimbangan ekonomis. Suhu tinggi dapat
digunakan jika ingin membuat produk gorengan dengan karakteristik permukaan
yang kering sementara bagian dalamnya basah. Sebaliknya, jika seluruh bagian
produk diinginkan kering selama proses penggorengan, maka suhu penggorengan
harus lebih rendah agar air dapat diuapkan secara sempurna sebelum bagian
permukaan kering dan membentuk kulit (crust).
Sementara itu, jika menggoreng makanan basah yang berpotensi
untuk ditumbuhi mikroba patogen, suhu perlu diatur agar bagian pusat (tengah)
produk telah memperoleh panas yang cukup untuk membunuh mikroba patogen tanpa
merubah karakteristik sensori yang diinginkan. Dari aspek ekonomis, frekuensi
penggantian minyak akan meningkat pada penggorengan dengan suhu tinggi. Hal ini
karena suhu tinggi mempercepat kerusakan minyak goreng yang ditandai oleh
perubahan warna, flavor dan kekentalan minyak.
Lama waktu penggorengan bervariasi antar makanan. Beberapa
faktor penentu lamanya waktu penggorengan adalah jenis makanan yang digoreng,
suhu proses penggorengan yang digunakan, ketebalan makanan yang digoreng dan
karakteristik produk akhir yang diinginkan.
Perubahan produk selama proses penggorengan
Makanan yang digoreng akan mengalami beberapa perubahan baik
perubahan kimia ataupun fisik, diantaranya pembentukan kulit (crust), perubahan
citarasa, aroma, tekstur, warna, pengurangan kadar air, penyerapan minyak,
kerusakan vitamin, gelatinisasi dan denaturasi/koagulasi protein. Secara
sensori, produk gorengan bermutu baik akan memiliki warna kuning keemasan,
aroma dan citarasa khas produk goreng dan tekstur yang renyah.
Lapisan kulit biasanya terbentuk dipermukaan produk gorengan
berukuran tebal, yang disebabkan oleh penguapan air dan pengeringan di
permukaan makanan. Lapisan kering tersebut akan membentuk tekstur renyah di
permukaan produk gorengan. Sementara itu, pada produk yang tipis, penggorengan akan
mengeringkan seluruh bagian produk sehingga didapatkan produk yang renyah.
Warna kuning keemasan pada produk gorengan disebabkan oleh
reaksi pencoklatan non enzimatis yang berlangsung secara cepat di permukaan
produk. Tekstur produk gorengan sangat dipengaruhi oleh reaksi gelatinisasi
pati dan/atau denaturasi/koagulasi protein. Sementara itu, penyerapan minyak
goreng yang berlangsung selama proses penggorengan menyebabkan kadar lemak
produk akan lebih tinggi dibandingkan bahan awalnya. Penurunan kadar air produk
gorengan sangat tergantung pada kadar air awal bahan dan ketebalan produk. Pada
produk yang diiris tipis, kadar air produk gorengan bisa turun menjadi 2%. Pada
produk yang relatif tebal, penurunan kadar air terutama terjadi di bagian
permukaan sementara kadar air di bagian dalam masih relatif tinggi.
Kandungan zat gizi produk akan berubah karena proses
penggorengan. Zat gizi yang tidak tahan panas seperti vitamin B1 (tiamin),
vitamin C, vitamin E dan lain-lain akan rusak dan jumlahnya menurun akibat
proses penggorengan. Walaupun demikian, perubahan ini sangat tergantung pada
tebal produk dan laju penggorengan. Potongan yang tebal dan proses penggorengan
cepat pada suhu tinggi akan menghambat perubahan pada bagian dalam sehingga
akan lebih banyak zat gizi yang dapat dipertahankan.
Secara teori, penggorengan dalam minyak banyak akan menghasilkan
produk dengan warna, aroma dan penampakan yang seragam karena menerima panas
secara merata. Akan tetapi, ukuran produk perlu diperhatikan agar produk menerima
panas secara seragam dan masak secara bersamaan. Keragaman dari ukuran makanan
yang digoreng secara bersama-sama akan menyebabkan sebagian makanan mengalami
over cooking, sebagian masak sempurna dan sebagiannya under cooking. Bentuk
makanan yang digoreng juga perlu diperhatikan. Bentuk yang tidak merata
cenderung untuk memerangkap minyak lebih banyak pada saat mereka diangkat dari
penggorengan.
Perubahan minyak selama proses penggorengan
Ada banyak hal yang dialami oleh minyak goreng selama proses
penggorengan diantaranya pemanasan yang dialami oleh minyak selama proses
penggorengan, masuknya uap air, komponen larut lemak dan remah dari makanan ke
dalam minyak, dan terjadinya kontak antara minyak dengan oksigen dari udara.
Semua kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan pada minyak goreng. Kontak
dengan oksigen pada suhu tinggi menyebabkan minyak goreng teroksidasi. Uap air
dari makanan yang masuk ke dalam minyak selama proses penggorengan juga akan
memicu rentetan reaksi kimiawi lemak. Begitupun dengan komponen larut lemak dan
remah yang berasal dari makanan, akan berkontribusi terhadap kerusakan minyak
goreng. Seberapa cepat terjadinya proses perubahan minyak sangat tergantung
pada frekuensi penggunaan, jenis bahan yang digoreng dan suhu serta waktu penggorengan
yang digunakan.
Beberapa komponen di dalam makanan yang digoreng akan
berkontribusi pada laju kerusakan minyak goreng. Vitamin larut lemak yang lisis
ke dalam minyak goreng akan menghambat atau mempercepat kerusakan minyak goreng
tergantung pada sifat antioksidan atau prooksidannya. Kolesterol yang ada
didalam bahan pangan hewani dapat lisis ke dalam minyak goreng selama proses
penggorengan dan masuk ke dalam produk lain yang digoreng sesudahnya. Komponen
pigmen dan atau hasil reaksi pencoklatan Maillard dapat memodifikasi ketahanan
minyak terhadap oksidasi dan berkontribusi terhadap pencoklatan minyak.
Komponen fenolik yang ada di dalam makanan atau di dalam rempah akan
meningkatkan stabilitas minyak goreng selama penggorengan. Komponen volatil
dari makanan dengan flavor yang kuat seperti ikan dan bawang akan berkontribusi
terhadap pembentukan aroma menyimpang.
Secara fisik, minyak yang telah dipakai menggoreng atau minyak
jelantah akan memiliki warna yang lebih gelap, kekentalan yang lebih tinggi dan
kadang-kadang dengan flavor yang tidak menyenangkan. Perubahan warna,
kekentalan dan flavor minyak pada akhirnya akan memberi efek negatif terhadap
karakteristik makanan yang digoreng. Warna, penampilan dan aroma produk menjadi
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Minyak yang kental juga akan menurun
kemampuannya untuk memanaskan produk dan menyebabkan terjadinya peningkatan
jumlah minyak di permukaan maupun yang masuk ke dalam produk goreng. Selain
itu, beberapa komponen hasil degradasi minyak selama pemanasan juga memberikan
pengaruh negatif terhadap kesehatan. Karena itu, sangat dianjurkan untuk tidak
menggunakan minyak yang telah mengalami perubahan fisik.
Mutu produk gorengan
Dengan penggunaan suhu yang tinggi, proses penggorengan tidak
hanya memanaskan dan memasak makanan yang digoreng tetapi juga mengeringkannya.
Proses pemanasan pada suhu tinggi akan membunuh mikroba dan menginaktivasi
enzim yang ada di dalam makanan.
Tergantung pada tebal tipisnya makanan yang digoreng,
pengeringan dapat mengeringkan bagian permukaan (untuk produk yang tebal) atau
seluruh bagian produk (untuk produk yang tipis). Pada bagian yang kering, akan
terjadi penurunan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk
pertumbuhannya (dinyatakan sebagai nilai aw atau aktivitas air) dan kondisi ini
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan mikroba.
Faktor pembatas untuk penyimpanan produk gorengan adalah kadar
air produk setelah proses penggorengan. Penyerapan air kembali setelah proses
penggorengan akan menyebabkan kadar air produk meningkat dan produk kehilangan
sifat renyahnya. Untuk memperpanjang umur simpannya, diperlukan kemasan yang
dapat menghambat migrasi uap air ke dalam produk sehingga kadar air dapat
dipertahankan.
Produk berukuran tebal yang digoreng tidak dapat bertahan lama
jika disimpan di suhu ruang karena kadar air rendah hanya di permukaan produk
sementara bagian dalam masih basah. Kondisi ini dapat memicu pertumbuhan
bakteri patogen dan/atau pembusuk di bagian dalam produk. Untuk memperpanjang
umur simpan dari produk gorengan seperti ini, maka penyimpanan dilakukan pada
suhu tinggi (65°C) atau suhu rendah (suhu dingin (4°C) atau suhu beku (-18°C)
jika diinginkan umur simpan yang lebih panjang).
Oksidasi lemak menjadi masalah lain selama penyimpanan produk
gorengan. Masalah ini biasanya muncul pada produk snack (irisan tipis) atau
produk gorengan yang disimpan beku. Pengemasan dengan menggunakan kemasan vakum
dan/atau kemasan yang diisi gas inert seperti nitrogen dapat menghambat reaksi
oksidasi lemak dan memperpanjang umur simpan produk.
Sumber : Dr. Elvira Syamsir dalam http://ilmupangan.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment
Komentar