Sunday 14 February 2021

Teknik Pengolahan Daging

 

 

Teknik Produksi Produk Hasil Hewani Daging

A.     Tujuan

 

Setelah mempelajari Modul Pembelajaran Teknik Produksi Produk Hasil Hewani (Daging) ini peserta Diklat mampu :

a.   Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip produksi produk olahan hewani (daging), melakukan kegiatan produksi produk olahan hewani dan mengembangkannya dengan cermat dan teliti sesuai kriteria.

b.  Menganalisis kebutuhan sarana dan prasarana produksi produk hasil hewani (daging) dengan cermat dan teliti sesuai kriteria.

c.   Menerapkan teknik pengendalian mutu dalam produksi produk hasil hewani (daging) dengan cermat dan teliti sesuai kriteria.

 

 

B.     Indikator Pencapaian Kompetensi

 

a.  Mengidentifikasi bahan baku dan bahan bantu untuk produksi poduk olahan daging (sapi dan ayam).

b.  Menerapkan teknik produksi produk olahan daging (sapi dan ayam)

c.  Mengidentifikasi jenis sarana dan prasarana untuk produksi produk olahan daging (sapi dan ayam)

d.  Menerapkan teknik pengendalian mutu dalam proses pengolahan daging (sapi dan ayam).

 

 

C.     Uraian Materi

 

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh hewan dan produk hasil olahannya yang sesuai untuk dikonsumsi dan tidak boleh menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi. Termasuk dalam definisi daging tersebut adalah organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot.

Daging sebagai bahan makanan merupakan hasil dari serangkaian proses produksi (budidaya) ternak. Rangkaian proses produksi ternak dimulai dari proses pemeliharaan ternak, pemotongan ternak, penangan karkas, pengolahan daging, sampai penjualan produk


olahan kepada konsumen. Daging merupakan salah satu alternatif sumber gizi makanan yang baik dan lengkap. Komposisi kimia daging secara umum terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air. Kandungan nutrisi dan air yang tinggi menjadi salah satu penyebab daging mempunyai sifat mudah rusak. Kerusakan daging terutama disebabkan oleh mikroorganisme. Oleh karena itu diperlukan penanganan dan pengolahan daging lebih lanjut untuk mencegah kerusakan yang terjadi setelah pemotongan. Kerusakan yang sering terjadi dapat menimbulkan senyawa-senyawa toksik dan penurunan nilai gizi pada daging.

Daging dapat diolah melalui berbagai macam teknik pengolahan, diantaranya teknik pengasapan, pendinginan, pemanasan, pengasinan, dan pengalengan. Hasil olahan daging yang dikenal masyarakat diantaranya sosis, bakso, kornet, dendeng dan abon. Berdasarkan teknik penanganan atau pengolahan yang dilakukan, daging dapat dikelompokkan menjadi daging segar tanpa pelayuan; daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin); daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku); daging masak; daging asap dan daging olahan. Daging yang banyak dikonsumsi umumnya berasal dari ternak sapi, domba, kerbau, babi, unta, kuda, unggas dan hewan- hewan lain yang hidup di air maupun di darat.

1.      Penyembelihan dan Persiapan Karkas

 

Penyembelihan merupakan proses mematikan ternak dengan cara memotong tiga saluran pada leher, yaitu saluran esofagus, arteri karotis dan vena jugularis. Cara mematikan ternak bisa dilakukan dengan dipingsankan terlebih dahulu, kemudian disembelih. Teknik penyembelikan ini khususnya untuk ternak-ternak yang agresif. Setelah penyembelihan, darah harus segera dikeluarkan sebanyak mungkin kemudian ternak dikuliti (dressing). Khusus untuk ternak babi dan ayam tidak dilakukan pengkulitan. Proses pengkulitan ternak dilakukan dengan cara menggantung ternak dengan mengikat bagian kaki belakang ke atas, kemudian saluran pencernaan dan organ-organ dalam lainnya dikeluarkan dengan cara membelah bagian abdomen hingga ke dada ternak. Langkah berikutnya adalah memotong kaki depan dan belakang serta kepala sehingga maka jadilah karkas. Jadi, istilah karkas untuk sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan hewan-hewan sejenisnya adalah tubuh ternak yang telah dihilangkan bagian kepala, kaki, dikuliti, darah, organ pencernaan, organ dalam lainnya. Dalam perdagangan internasional, pemotongan karkas biasanya mengikuti suatu aturan tertentu dan bagian-bagian potongannya juga memiliki nama-nama tertentu.

Pemotongan karkas menurut perdagangan internasional sebagai berikut:


a.              karkas sapi dewasa (beef) terdiri dari: round, sirloin, short loin, flank, plate, rib, brisket, cross cut, chuck, dan foreshank.

b.              karkas sapi muda (veal) terdiri dari: long leg, flank, short loin, rack, breast, square cut chuck, dan shank.

c.               Karkas domba/kambing (lamb) terdiri dari: leg, short loin, breast, rack, brisket, shoulder

dan foreshank.

d.              Karkas babi terdiri dari: ham, belly, loin, spare ribs, shoulder dan jowl.

 


 

Gambar 1.1. Potongan Primal Karkas Veal

 

 

 

Pemotongan karkas yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia berbeda beda dari satu daerah dengan daerah lainnya, dan belum mengikuti cara pemotongan internasional. Pemotongan karkas yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia umumnya adalah sebagai berikut:

a.  karkas sapi dewasa terdiri dari: lulur dalam, lulur luar, paha atas, paha bawah, lapis, skengkel, betis, bahu, lapis berminyak, dada belakang, dada muka, leher, kaki, kepala, buntut.

b.  karkas sapi muda terdiri dari: lapis, bahu, paha, dada, lulur dalam, lulur luar, skengkel atas, skengkel bawah, leher.

c.  karkas kambing/domba terdiri dari: leher, punggung, lulur, paha, perut, bahu dan kepala.

d.  karkas babi terdiri dari: kepala, telinga, kaki, minyak kulit, lapis, punggung, lulur luar, lulur dalam, minyak jala, ham (fricadean)


Bagian-bagian daging tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda, seperti tektur, dan kandungan lemaknya. Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap hasil olahan yang dihasilkan.

 

2.       Pelayuan dan Rigor Mortis

 

Karkas dari ternak besar (sapi, kerbau, kuda dan lain-lain) pada umumnya dilakukan proses pelayuan (aging/conditioning) dengan cara menggantung atau menyimpannya pada tempat tertentu dengan mengatur temperatur di bawah temperatur kamar dan di atas temperatur beku daging (-1,5°C). Selama pelayuan, akan terjadi peningkatan keempukan dan flavor daging serta penyelesaian proses-proses fisiologis otot postmortem. Proses fisiologis tersebut dikenal sebagai proses rigor mortis, yaitu proses kekakuan otot yang terjadi setelah penyembelihan. Proses kekakuan ini merupakan kontraksi otot yang ireversibel. Bila daging diperoleh dari karkas masih pada fase rigor mortis maka daging akan terasa lebih alot/keras. Oleh karena itu proses rigor mortis harus dilalui sampai selesai.

Pelayuan dengan cara menggantung karkas akan mengurangi pemendekan otot akibat rigor mortis. Penggantungan secara fisik dapat menyebabkan gaya berat karkas menahan proses kontraksi otot. Proses pelayuan dilakukan untuk memberikan kesempatan enzim proteolitik mendegradasi protein dalam serat daging sehingga daging terasa lebih empuk.

Rigor mortis merupakan proses yang harus diperhatikan karena kesalahan penanganan bisa berpengaruh pada kualitas daging. Karkas dalam kondisi pre rigor atau sedang rigor apabila disimpan beku akan terjadi pengkerutan hingga bisa mencapai 50%. Hal ini akan tampak saat karkas beku tersebut mengalami thawing. Pengkerutan daging dikarenakan terjadi rigor mortis kembali (thaw rigor). Kondisi ini menyebabkan ukuran karkas atau daging menjadi lebih kecil dari ukuran semula. Oleh karena itu pembekuan karkas atau daging biasanya dilakukan pada keadaan postrigor. Berkenaan dengan sifat rigor mortis pada daging, maka proses pelayuan biasanya dilakukan pada temperatur antara 15-16°C. Pada temperatur ini rigor mortis masih bisa berlangsung sehingga tidak menimbulkan pengkerutan. Pelayuan pada temperatur rendah akan menyebabkan pengkerutan dingin (cold shortening). Temperatur di bawah 15°C menyebabkan karkas yang belum rigor atau sedang rigor menjadi tidak bisa melangsungkan rigor mortis dan bila dikembalikan ke temperatur ruang maka rigor mortis yang tertunda tadi berlangsung kembali tetapi diikuti dengan pengkerutan karkas/daging.


3.       Pengolahan Daging

 

Daging dapat diolah menjadi beraneka jenis produk. Berdasarkan teknik pengecilan ukurannya, daging diantaranya dapat diolah menjadi produk-produk sebagai berikut:

 

 


 

Gambar 1.2. Teknik pengolahan daging dan jenis produk olahannya

 

 

4.      Curing

 

Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam salpeter) seperti NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Curing merupakan salah satu cara mengawetkan daging secara kimiawi. Produk daging curing ini disebut dengan cured meat. Cured meat merupakan produk intermediate daging karena setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi produk olahan lainnya, misalnya sosis, bakso dan lain-lainnya.


Curing pada daging dimaksudkan untuk memperbaiki warna merah pada daging, menstabilkan flavor, mengawetkan daging dan untuk beberapa tujuan lainnya. Bila menghendaki produk daging dengan warna merah cerah, maka perlu perlakuan curing dengan nitrit. Bahan curing berupa garam nitrat/nitrit berfungsi untuk fiksasi warna merah daging, antimikrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Garam dapur berfungsi sebagai pembangkit flavor yang khas dan antimikrobial. Penambahan bumbu- bumbu yang lain juga dapat meningkatkan flavor sehingga konsumen lebih suka. Selain itu bumbu juga bersifat antimikrobial dan antioksidan sehingga berperan sebagai pengawet. Fosfat berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan produk dan mengurangi pengkerutan daging selama proses pengolahan serta menghambat oksidasi produk. Namun beberapa olahan daging tidak menggunakan fosfat, karena itu sifatnya hanya sebagai pilihan saja.


Khusus nitrat/nitrit, penggunaannya harus dibatasi karena bila berlebihan bisa berdampak negatif bagi yang mengkonsumsinya. Kadar akhir nitrit pada suatu produk harus tidak lebih dari 200 ppm dan nitrat tidak lebih dari 500 ppm. Merujuk pada peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat, penambahan garam nitriat atau nitrit tidak boleh lebih dari 239,7 g/100 liter larutan garam, 62,8 g/100 kg daging untuk curing kering dan 15,7 g/100 kg daging cacahan untuk sosis. Secara garis besar, curing dapat dilakukan dengan cara kering atau basah. Cara kering adalah dengan mengolesi/menaburkan campuran bahan curing secara merata ke seluruh bagian daging. Curing kering ini bahan-bahannya terdiri dari 26% NaCl, 5% KNO3, 0,1% NaNO2 dan 0,5% sukrosa. Curing secara basah adalah dengan merendam daging ke dalam larutan yang mengandung bahan curing. Caranya dengan merendam daging ke dalam larutan garam dengan perbandingan 1:1. Larutan garam yang dibuat adalah 26% NaCl, 2-4% KNO3, 0,1% NaNO2. Perendaman dilakukan selama 10-20 hari. Selain direndam, cara basah ini bisa dilakukan dengan injeksi larutan curing.


Gambar 1.3. Diagram perubahan warna daging

 

5.      Pembuatan Bakso

 

Bakso merupakan produk olahan daging dengan menerapkan suatu sistem emulsi yang mempunyai karakteristik hampir sama dengan minyak dalam air (o/w), dimana lemak sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu, dengan protein yang berperan sebagai emulsifier. Selama percampuran adonan, protein terlarut membentuk matrik yang menyelubungi lemak. Pada pemasakan akan terjadi koagulasi protein oleh panas dan terjadi pengikatan butiran yang terperangkap dalam matrik protein.

Pada umumnya suatu sistem emulsi bersifat tidak stabil dan mudah mengalami pemisahan antara komponen-komponennya. Untuk menstabilkan emulsi, biasanya ditambahkan bahan- bahan tertentu yang kerap dikenal dengan istilah emulsifier, stabilizer atau emulsifying agent. Beberapa ahli mengatakan emulsifier tersebut mengandung gugus polar dan non polar. Gugus polar bersifat hidrofilik dan mempunyai sifat larut dalam air, sedangkan gugus non polar bersifat lipotik yang mempunyai kecendrungan larut dalam lemak atau minyak. Sifat ganda dari emulsifer tersebut yang diduga berperan dalam menstabilkan suatu sistem emulsi.

Protein daging berperan sebagai emulsifier dalam sistem emulsi bakso. Bentuk molekul protein dapat terikat baik pada minyak atau air, dengan demikian dapat berkerja sebagai emulsifier. Begitu pentingnya peran protein dalam suatu sistem emulsi bakso, maka kondisi protein harus selalu dijaga dan dicegah dari kerusakan. Dengan demikian perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan protein. Faktor utama yang perlu dikendalikan adalah: pengaruh panas. Timbulnya panas yang tinggi melebihi 16°C sebelum dan selama emulsifikasi harus dihindari kerusakan protein yang berperan sebagai emulsifier.

Protein dapat menjalankan fungsinya sebagai emulsifier apabila dilakukan pelarutan terlebih dahulu. Beberapa jenis protein yang berperan sebagai emulsifier dapat digolongkan berdasarkan kelarutan protein dalam air dan larutan garam. Ada 3 (tiga) golongan protein yaitu: protein larut dalam air, protein larut dalam garam, dan protein tidak larut dalam kedua- duanya yaitu jaringan pengikat.

Golongan protein yang larut dalam air adalah protein sarkoplasma. Termasuk dalam protein sarkoplasma ini adalah mioglobin yang berperan pemberi warna pada daging. Sedangkan yang tergolong protein yang larut dalam garam adalah aktin dan miosin.


a.      Karakteristik bahan baku

 

Daging sapi

Daging tersusun oleh 2 bagian utama yaitu serat-serat otot yang berbentuk rambut dan tenunan pengikat. Serat-serat otot daging diikat kuat oleh tenunan pengikat yang menghubungkannya dengan tulang. Daging sapi merupakan komoditas yang memiliki nilai gizi yang tinggi karena mengandung protein yang tinggi. Komposisi daging sapi bervariasi tergantung dari jenis sapi, jenis kelamin dan dari bagian mana daging sapi diambil. Protein dalam daging merupakan salah satu komponen penting. Bentuk protein lain dalam daging berupa kolagen, retikulin dan elastin pada tenunan pengikat, mioglobin pada pigmen, nukleoprotein dan enzim. Unsur protein dalam daging memegang peranan penting dalam pembuatan bakso. Protein tersebut berfungsi sebagai emulsifier dalam sistem emulsi bakso.

 

Pemilihan daging untuk bakso

Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam pemilihan daging sapi untuk bahan dasar bakso adalah kesegaran dan letak posisi daging. Kesegaran daging sangat mempengaruhi produk bakso yang dihasilkan. Faktor kesegaran juga harus didukung pertimbangan- pertimbangan berikut: penamapakan mengkilap, warna tidak pucat, tidak bebau asam dan tidak busuk, tekstur daging elastis (tidak lembek) dan jika dipegang terasa basah dan tidak lengket. Daging untuk pembuatan bakso harus daging segar atau daging yang belum mengalami pelayuan terlebih dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan atau aging, tekstur daging menjadi lunak, hal ini juga akan menyebabkan tekstur bakso juga lunak, kurang kompak, tidak kenyal/tidak elastis, mudah pecah, serta rendemen rendah. Daging yang telah dilayukan, kemampuannya untuk mengikat air menjadi rendah, karena protein actin dan miosin makin berkurang. Faktor kedua yang perlu juga diperhatikan adalah posisi daging. Diusahakan dipilih daging yang tidak banyak mengandung lemak. Daging bagian lamusir belakang (sirloin), bagian paha belakang (round), dan pinggang bagian belakang, tidak banyak mengandung lemak.

Kadang-kadang sulit untuk mendapatkan daging sapi sesuai dengan yang diharapkan. Daging yang peroleh ternyata sudah melalui proses pelayuan, untuk itu perlu perlakuan khusus agar bakso yang dihasilkan tetap bermutu tinggi. Perlakuan khusus yang dimaksud berupa penambahan poliposhpat atau dengan menambahkan garam dapur. Apabila terpaksa harus melakukan penyimpanan, sebaiknya daging disimpan pada suhu 15°C atau 20°C atau dibekukan pada suhu -5°C. Daging yang disimpan pada suhu 15°C selama 24 jam masih


bagus untuk bakso. Demikian pula untuk daging yang disimpan pada suhu 20°C selama 8 jam atau disimpan pada suhu –5°C selama 4 hari.

 

b.      Karakteristik bahan pendukung

Seperti pengolahan pada umumnya, pada pembuatan bakso selain bahan dasar juga diperlukan bahan-bahan lain. Bahan-bahan pendukung dalam pembuatan bakso berupa tepung tapioka, kadang-kadang tepung aren atau tepung sagu, bumbu-bumbu (bawang putih, merica, bawang merah goreng) serta es batu.

Tepung tapioka

 

Tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstrasi ketela pohon (Manihot utilisima POHL) yang telah mengalami pencucian secara sempurna, pengeringan dan penggilingan (Sunarto, 1984 dalam Ahtini, 1997). Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan a glikosidik. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan a-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, FG, 1989). Tepung tapioka merupakan sumber pati yang pada umumnya mengadung amilosa ± 18%, dan kandungan amilopektinnya sangat tinggi. Sifat khas dari pati yang penting kita ketahui adalah gelatinisasi. Kisaran suhu gelatinisasi tepung tapioka 58,5-70°C. Pola gelatinisasi tepung tapioka mirip dengan biji-bijian yang mengadung amilopektin sangat tinggi. Jenis pati tersebut rata-rata mengadung gel yang cukup stabil dalam mempertahankan konsistensinya.

Tepung tapioka yang ditambahkan dalam formulasi bakso dimaksudkan sebagai bahan pengisi. Bahan pengisi dapat diartikan sebagai material bukan daging yang ditambahkan pada “sistem emulsi” (dalam hal ini bakso) yang dapat mengikat sejumlah air. Selain itu juga bertujuan memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki irisan produk, meningkatkan citra rasa dan mengurangi biaya produksi.

Sumber pati yang lain biasanya mengandung amilosa dan amilopektin dengan jumlah atau perbandingan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tentu akan berpengaruh terhadap sifat bakso yang dihasilkan.

Es batu


Es batu ditambahkan ke dalam formulasi bakso dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu daging giling selama emulsifikasi. Kenaikan suhu melebihi 16°C akan mengurangi aktivitas protein daging dalam peranannya sebagai emulsifier. Emulsifier yang tidak berfungsi dengan optimal, akan menyebabkan sistem emulsi yang terbentuk tidak akan optimal. Selain untuk tujuan tersebut, es batu dapat melarutkan protein dalam daging khususnya jenis protein larut dalam air. Es batu berubah bentuk menjadi air yang berperan dalam mengatur konsistensi adonan yang akan berpengaruh terhadap tekstur bakso yang akan dihasilkan. Pilih Es batu yang terbuat dari air masak dan ditangani dengan baik, karena es batu yang kurang bersih dapat mengandung bakteri pathogen yang berbahaya bagi kesehatan.

 

c.      Peralatan dan sarana dalam proses pembuatan bakso

Pada prinsipnya, bakso diproses dengan peralatan yang tersedia di dapur rumah tangga seperti pisau, kompor, sendok, panci dan lain-lain. Sebelum alat penggiling daging mudah dijumpai di rumah tangga, daging digiling atau dihancurkan dengan cara dipukul-pukul pada telenan besar menggunakan plat besi. Namun saat ini sudah banyak kita dijumpai peralatan penghancur daging seperti chopper, food processor dan silent cutter. Ukuran atau kapasitas alat untuk memproduksi bakso ada berbagai macam tergantung jumlah dan kapasitas produksi bakso yang akan dibuat. Adapun jenis dan fungsi peralatan penting untuk pembuatan bakso adalah sebagai berikut :

 

 

1.      Timbangan

 

Timbangan yang digunakan ada bermacam-macam tergantung seberapa banyak bahan yang akan ditimbang. Pemilihan timbangan harus benar-benar diperhatikan, karena timbangan yang tidak tepat tidak hanya menyebabkan kehilangan bahan, tapi juga akan menghasilkan produk yang tidak seragam. Ada beberapa bahan yang ditimbang dalam kapasitas besar seperti bahan dasar (daging sapi, daging ayam, dan daging ikan), tepung tapioka atau bahan pengisi, dan es batu, memerlukan timbangan dengan kapasitas penimbangan yang besar pula. Tetapi untuk bahan-bahan seperti garam, merica, dan bumbu lainnya, memerlukan kapasitas timbagan kecil agar hasil yang ditimbang benar- benar tepat. Ketepatan penimbangan sangat diperlukan untuk menghasilkan produk dengan kualitas baik. Sebelum digunakan, timbangan diperiksa dahulu apakah dalam


keadaan bersih dan sudah siap digunakan atau belum. Setelah digunakan, timbangan dibersihkan dan disimpan lagi pada tempatnya. Untuk hasil penimbangan yang baik, timbangan perlu ditera ulang secara berkala pada dinas/lembaga yang terkait.

 

Gambar 1.4. Timbangan kasar dan timbangan halus


2.      Chopper

 

 

Chopper digunakan untuk menggiling bahan dasar berupa daging sapi, ayam atau ikan, sebelum dihaluskan dengan food processor atau silent cutter. Daging yang telah dichopper akan lebih mudah halus daripada tanpa dichopper.


 

Gambar 1.5. Macam-macam Chopper

 

 

 

3.      Food Processor/Silent Cutter

 

 

Daging yang telah digiling dengan chopper, selanjutnya dihaluskan dengan food processor untuk bahan dengan jumlah kecil, atau dengan silent cutter untuk bahan dengan jumlah yang lebih besar. Kedua alat ini mempunyai fungsi yang sama, dan mempunyai pisau yang dapat menggiling halus daging yang digunakan sebagai bahan dasar. Juga berfungsi untuk mencampur bahan-bahan yang digunakan.


 

Gambar 1.6. Food Processor dan Silent Cutter


4.      Pencetak Bakso

 

 

Adonan bakso yang telah siap dalam jumlah banyak, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat pencetak bakso. Sedangkan untuk adonan jumlah kecil dapat dicetak secara manual dengan tangan.

 

 

 


 

Gambar 1.7. Alat Pencetak Bakso

 

5.      Vacuum Sealer

 

 

Bakso yang telah dimasak selanjutnya didinginkan dan dikemas. Untuk memperpanjang daya simpan bakso, pengemasan dilakukan dengan cara vakum, agar udara dalam kemasan dapat dibuat seminimal mungkin. Alat yang digunakan untuk mengemas vakum adalah vacuum sealer.


      

 

Gambar 1.8. Macam-macam Vacuum Sealer.

 

 

d.      Proses pembuatan bakso

Langkah-langkah dalam proses pembuatan bakso meliputi persiapan bahan, penggilingan daging, pembuatan adonan (emulsifikasi), pembetukan bola bakso (pencetakan), perebusan dan pengemasan. Mengingat bakso merupakan suatu sistem emulsi, maka tahapan-tahapan proses diusahakan senantiasa dikendalikan untuk mencegah kerusakan emulsi.

Langkah-langkah Pembuatan Bakso

 

Langkah-langkah proses pembuatan bakso sebagai berikut:

 

1.          Persiapan bahan dasar

 

Perlakuan penting terhadap daging sapi sebelum dilakukan penggilingan adalah penghilangan lemak yang mungkin menempel pada daging. Daging sapi pada bagian lamusir belakang atau paha, penghilangan lemak tidak terlalu merepotkan, karena bagian-bagian ini relatif sedikit mengadung lemak. Lemak yang banyak terikat kedalam adonan, selain merusak emulsi juga menyebabkan produk bakso yang dihasilkan terasa berlemak. Selanjutnya dilakukan pemotongan daging sapi tanpa lemak menjadi potongan berukuran kecil-kecil. Perlakuan ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mempercepat proses penggilingan/pelumatan. Proses penggilingan yang cepat (tidak membutuhkan waktu lama) dapat mencegah kenaikan suhu yang diakibatkan oleh proses tersebut, karena kenaikan suhu berpengaruh negatif terhadap sistem emulsi.


2.          Penggilingan/Pelumatan

 

Daging yang telah berbentuk potongan-potongan kecil, kemudian dilakukan pelumatan/penggilingan. Tujuan proses penggilingan/pelumatan daging adalah untuk memperkecil ukuran daging menjadi partikel-partikel yang ukurannya homogenya, sehingga bila dicampur dengan bumbu-bumbu, maka bumbu tersebut akan tercampur rata dengan adonan. Tujuan yang kedua adalah untuk mendapatkan tekstur yang baik pada produk akhir.

Proses penggilingan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penggilingan khusus yang banyak dijumpai di pasar atau menggunakan food processor yang telah banyak diperdagangkan. Alat penggiling khusus seperti yang telah banyak dijumpai di pasar mempunyai kelebihan yaitu dapat menggiling lebih halus dan lebih homogen. Ditempat tersebut juga biasanya menerima jasa penggilingan daging dengan biaya relatif murah. Untuk skala produksi industri kecil menengah, penggilingan daging dapat menggunakan mesin/alat silent cutter.

 

 

Proses penggilingan menggunakan alat penggiling mengandung resiko akan menimbulkan panas selama proses penggilingan. Panas tersebut dapat disebabkan oleh adanya gesekan antara daging atau adanya gesekan daging dengan alat penggiling. Untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu selama proses penggilingan, ditambahkan potongan-potongan es batu. Dengan demikian kenaikan suhu selama proses penggilingan dapat dicegah tidak melebihi 16°C.

3.          Pembuatan Adonan (Emulsifikasi)

 

Pada tahapan ini terjadi proses emulsifikasi yaitu pencampuran antara daging sapi yang telah dihaluskan dengan tepung tapioka/aren/sagu, dan bumbu-bumbu. Jumlah tepung yang ditambahkan sekitar 10-40% dari berat daging. Bumbu-bumbu yang berupa merica, bawang putih, dan bawang merah goreng ditambahkan dengan jumlah sesuai selera, sedangkan garam biasanya ditambahkan dengan jumlah 2,5% dari berat daging. Pada tahap ini juga dimungkinkan terjadinya kenaikan suhu sebagai akibat timbulnya panas selama emulsifikasi. Untuk mencegah kejadian ini, perlu ditambahkan es batu. Jumlah es batu yang ditambahkan 10-30% dari berat daging. Penambahan es batu selain untuk menjaga kenaikan panas agar tidak melebihi 16ºC, juga berfungsi untuk menambahkan air kedalam adonan sehingga


adonan tekstur bakso yang dihasilkan menjadi baik. Es batu juga berfungsi melarutkan protein daging yaitu protein larut dalam air, dengan demikian fungsi protein sebagai emulsifier lebih optimal.

4.          Pembentukan Bola Bakso dan Perebusan

 

Setelah proses emulsifikasi selesai yang ditandai dengan bahan-bahan berbentuk adonan, kemudian dilakukan pencetakan menjadi bola-bola bakso yang siap untuk direbus. Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat mempergunakan tangan dibantu dengan sendok atau menggunakan mesin pencetak.

Cara membentuk bola bakso dengan menggunakan tangan, yaitu dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas/dikepalkan atau ditekan sampai adonan keluar diantara ibu jari dan telunjuk, sehingga membentuk bulatan dan diambil dengan sendok langsung dimasukan ke dalam air panas (suhu 80ºC). Perebusan pada suhu 80ºC (air rebusan belum mendidih) bertujuan agar diperoleh pemasakan bola bakso yang merata. Apabila pada awal pemasakan, bola bakso dimasukkan kedalam air rebusan yang sudah mendidih, dapat menyebabkan bola bakso pecah dan kematangannya tidak merata. Untuk ukuran bola bakso diusahakan seragam, yaitu tidak terlalu kecil tetapi juga tidak terlalu besar, sehingga kematangan bola bakso ketika direbus akan memilki tingkat kematangan yang seragam dan tidak menyulitkan dalam pengendalian prosesnya.

Perebusan bola bakso dilakukan selama ±15 menit. Bakso yang sudah masak ditandai dengan mengapung di permukaan air. Bakso yang sudah matang selanjutnya diangkat dan ditiriskan. Agar bakso dapat tahan lama maka bakso harus dikemas dalam kantong plastik dan disimpan dalam suhu beku.

 

 

e.      Kriteria Mutu Bakso

 

Mutu bakso dapat dinilai dengan cara yang paling sederhana yaitu pengujian secara organoleptik (sensoris), meliputi kenampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, serta kenampakan adanya jamur dan lendir pada bakso. Untuk lebih jelasnya kriteria mutu bakso menurut Singgih Wibowo dapat lihat pada Tabel 1


Tabel 1.1. Kriteria Mutu Bakso

 

Parameter

Bakso Daging

Kenampakan

Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan

cemerlang, tidak kusam. Sedikitpun tidak tampak berjamur, dan tidak berlendir.

Warna

Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga agak keputihan atau abu-abu. Warna tesebut merata tanpa warna lain yang

mengganggu.

Bau

Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi, atau bau busuk. Bau bumbu

cukup tajam.

Rasa

Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak

terdapat rasa asing yang mengganggu.

Tekstur

Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau

membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh.

Sumber: Singgih Wibowo, 1997


 

 

6.          Pembuatan Sosis

 

Sosis (Sausage) berasal dari bahasa Latin Salsus yang berarti penggaraman atau pengawetan daging dengan larutan garam, memberikan rasa, warna dan aroma yang khas pada sosis terutama disebabkan adanya proses curing dan pemasakan. Sosis dapat didiskripsikan sebagai produk olahan dari daging (sapi atau ayam) yang telah dicincang, diberi bumbu-bumbu, kemudian dimasukkan ke dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang yang dapat berupa usus hewan atau pembungkus buatan dengan atau tanpa dimasak, dengan atau tanpa diasap (Hadiwiyoto S., 1983). Sosis pada prinsipnya diolah dengan cara mengemulsikan lemak ke dalam protein daging, dengan molekul protein bertindak sebagai emulsifier-nya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas protein daging sebagai emulsifier (penstabil emulsi) meliputi pH, konsentrasi NaCl dan garam-garam lain, serta protein yang larut dalam air serta protein yang larut dalam garam. Pada pH mendekati titik isoelektrik dari protein yang terlarut dalam garam, kapasitas emulsifikasi proteinnya mengalami kenaikan sejalan dengan naiknya konsentrasi NaCl.

Agar dapat diperoleh sosis dengan kualitas yang baik maka perlu dilakukan seleksi terhadap macam daging yang digunakan sebagai bahan dasar sosis. Sebagai bahan dasar, daging yang masih dalam fase prerigor mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daging yang telah berada pada fase postrigor. Hal ini disebabkan hampir 50% protein-protein daging pada fase prerigor yang dapat larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al, 1975).

Disamping bahan-bahan yang berupa daging dan lemak, seringkali juga ditambahkan bahan-bahan lain yang bukan berasal dari jaringan daging. Bahan-bahan ini berperan sebagai “extender”. Fungsi utama dari bahan ini adalah untuk memudahkan pembentukan emulsi sosis, disamping untuk meningkatkan kemampuan mengikat molekul air (Forrest et al, 1975). “Extender” yang biasanya digunakan berupa susu skim, tepung jagung, tepung gandum, dan sodium kaseinat.

Sosis merupakan suatu sistem emulsi, emulsi tersebut berupa emulsi minyak dalam air, dengan air berperan sebagai fase kontinyu, lemak sebagai fase diskontinyu dan protein sebagai emulsifiernya. Dalam sistem emulsi tersebut, protein membentuk matriks yang menyelubungi globula-globula lemak. Protein dalam daging yang terutama berfungsi


sebagai emulsifying agent adalah miosin dan aktin, dan juga kombinasi keduanya yaitu

aktomyosin (Price dan Schweigert, 1971).


 


 

 

a.      Jenis-jenis sosis


Gambar 1. 9. Sistem emulsi


Sosis yang diproduksi cukup banyak jenisnya, diantaranya adalah:

 

1.          Sosis segar

 

Daging yang digunakan untuk membuat sosis tidak mengalami curing terlebih dulu. Contoh sosis jenis ini: Bratwurst, Bockwurst.

2.      Sosis masak

 

Daging yang akan dibuat sosis bisa dimasak terlebih dulu atau tidak. Kemudian diberi bumbu, dicacah, dimasukkan ke dalam selonsong kemudian dimasak. Kadang-kadang setelah dimasak diasap, kemudian disimpan di tempat dingin. Contoh: sosis hati (Liver sausage), Braunschweiger, Livercheese.

3.          Sosis masak yang diasap

 

Dibuat dari daging yang dicuring. Hampir sama dengan sosis masak, tetapi diasap dulu baru dimasak. Contoh: Frankfurters, Bologna, Cotto salami.

4.          Sosis kering

 

Terlebih dahulu daging diasap kemudian dikeringkan untuk mengurangi kadar airnya, lalu dibuat sosis. Contoh: Sosis Genoa Salami, Sosis Peperoni dan Lebanon bologna.


5.          Sosis asap

 

Daging yang dibuat sosis boleh dicuring atau tidak. Sebelum dikonsumsi harus dimasak terlebih dulu. Contoh: Kielbasa, Mettwurst, Sosis babi asap.

6.           Sosis daging masak spesial

 

Dibuat dengan bumbu-bumbu yang khusus, tergantung permintaan. Biasanya tidak diasap. Kemasan berbentuk tipis/lembaran, berlapis-lapis disimpan di tempat dingin.

Contoh: Loaves, Head cheese, Scrapple

 

b.      Karakteristik Bahan

 

Proses pembuatan sosis memerlukan berbagai macam bahan, baik bahan dasar maupun pendukung. Bahan dasar yang digunakan tergantung dari jenis sosis yang akan dibuat, yaitu sosis sapi atau ayam. Bahan pendukung dikelompokkan menjadi bahan pengisi, pengikat, bumbu dan selonsong.

Bahan Dasar

 

Bahan dasar yang digunakan untuk membuat sosis adalah daging. Menurut Sumarni (1993), daging merupakan gumpalan lembut yang terdiri atas urat-urat pada tubuh binatang, diantara kulit dan tulang. Daging dapat dibagi dalam dua golongan besar, yakni daging merah dan daging putih. Daging merah adalah daging yang berasal dari ternak seperti kambing, domba, kerbau, sapi dan babi. Daging putih adalah daging yang berasal dari unggas, yaitu ayam, itik, kalkun, merpati dan angsa.

Karakteristik daging sapi yang digunakan untuk membuat sosis adalah: daging berwarna merah cerah; bau khas daging segar; bila ditekan tidak meninggalkan bekas (elastis); tidak terdapat bagian-bagian yang berwarna hitam dan kehijauan.

Bahan Pendukung

Bahan pengisi dan pengikat

Bahan pengisi adalah bahan makanan yang ditambahkan dalam pembuatan sosis, biasanya bahan sumber dari karbohidrat. Sebagai pengisi umumnya dipakai berbagai jenis tepung, seperti tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu, tepung terigu, dan tepung beras. Penambahan bahan pengisi bertujuan untuk membentuk tekstur yang padat. Fungsi bahan pengisi adalah sebagai pengisi yang dapat menarik air, memperbaiki tekstur, menstabilkan emulsi, memperbaiki adonan, dan mengurangi biaya produksi.


Bahan pengikat berbeda dengan bahan pengisi. Bahan pengikat adalah bahan makanan sumber protein atau protein dalam bentuk isolat. Sebagai bahan pengikat, bahan yang mengandung protein atau isolat protein harus dalam kondisi proteinnya belum mengalami koagulasi. Bahan pengisi dan pengikat yang dipilih adalah mempunyai sifat daya serap air baik, warna yang baik, aroma dan rasa tidak mengganggu sosis, serta tidak mahal.

Serpihan es atau air es

 

Air es atau serpihan es ditambahkan dalam pembentukan emulsi adonan sosis bertujuan untuk melarutkan protein dan membentuk larutan garam sehingga mempermudah pembentukan emulsi serta mempertahankan suhu adonan dari pengaruh panas yang berasal dari alat mekanis. Penambahan air es atau serpihan es antara 16-25% dari berat daging dapat menghasilkan emulsi yang stabil.

Garam dapur dan garam polifosfat

 

Garam merupakan salah satu bahan paling penting dalam pembuatan sosis dan memegang peranan penting dalam pembentukan rasa produk. Penambahan garam dapur dan garam polifosfat secara bersamaan dapat mempengaruhi pH, pengembangan adonan dan daya ikat air dari daging. Peranan lain adalah mempertahankan warna, membentuk cita rasa, mengurangi penyusutan, dan memperbaiki penyebaran lemak dalam adonan. Dalam dosis tertentu (konsentrasi lebih dari 5%), garam dapur dapat berfungsi sebagai pengawet. Penambahan garam dalam dosis 1,5-3% tidak bertujuan untuk mengawetkan, namun sebagai pemantap rasa.

Bumbu-bumbu

 

Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis terdiri atas pala, merica, bawang putih, dan pemantap rasa. Tujuan dari penambahan bumbu ini adalah untuk menambah dan meningkatan cita rasa yang diinginkan.

Zat pewarna

 

Penambahan zat pewarna pada pembuatan sosis dimaksudkan untuk mendapatkan produk dengan warna yang seragam, menambah daya tarik serta menampilkan warna asli daging sapi dan menutupi kerusakan secara visual. Zat pewarna yang digunakan adalah zat pewarna makanan, baik alami maupun buatan.


Selongsong sosis (casing)

 

Casing dipergunakan untuk membungkus produk sosis selain itu juga menentukan bentuk dan ukuran produk sesuai keinginan. Casing juga bertindak sebagai cetakan dan wadah selama penanganan serta memegang peranan dalam menarik perhatian konsumen.

Berdasarkan bahan pembuatnya, casing dibedakan menjadi 2 yaitu :

 

a.                     Casing alami, yaitu casing yang dibuat dari usus hewan seperti usus sapi dan usus kambing. Kelebihan casing ini rasanya lebih enak, sedangkan kekurangannya adalah ukurannya tidak seragam dan tidak mencukupi skala industri yang memproduksi sosis dalam jumlah besar.

b.                            Casing sintetis atau buatan terdiri dari 2 macam yaitu casing yang dapat dimakan (edible) seperti casing yang terbuat dari kolagen dan agar-agar, serta casing yang tidak dapat dimakan (non edible) seperti casing yang terbuat dari plastik atau kain.

Gambar beberapa casing atau selongsong dapat dilihat pada gambar berikut ini.

 

 


Gambar 1.10. Casing atau selongsong sosis


c.              Peralatan dan sarana dalam proses pembuatan Sosis

Sarana dan peralatan yang digunkan untuk membuat sosis pada prinsipnya dasarnya hampir sama dengan peralatan untuk membuat bakso, seperti pisau, kompor, sendok, panci dan lain-lain. Serta peralatan penghancur daging seperti chopper, food processor dan silent cutter. Ukuran atau kapasitas alat untuk memproduksi sosis ada berbagai macam tergantung jumlah dan kapasitas produksi sosis yang akan dibuat. Adapun jenis dan fungsi peralatan penting yang tidak ada dalam proses pembuatan bakso adalah sausage filler.

 


 

Gambar 1. 11. Sausage filler

 

 

d.             Proses Pembuatan Sosis

Proses pembuatan sosis meliputi beberapa tahapan, yaitu pemilihan daging, penimbangan, pemotongan, curring, penggilingan, pelembutan dan pengadukan, pengisian dan pengikatan, pemasakan, pendinginan, pengemasan, dan penyimpanan.

Pemilihan Daging

 

Daging yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sosis harus dipilih daging yang baik agar dihasilkan produk sosis yang baik juga. Daging yang dipilih adalah daging yang sehat, bersih dari kotoran, lendir, kulit, bulu serta kotoran lainnya, daging dalam keadaan tanpa tulang, warna dan aroma khas daging segar.


Penimbangan

 

Bahan dasar yang telah dipilih selanjutnya ditimbang dengan tujuan untuk mengetahui berapa banyak bahan dasar yang digunakan dan berapa banyak bahan-bahan pendukung yang dibutuhkan.

Pemotongan

 

Daging yang siap diolah dipotong-potong kecil dengan tujuan untuk mempermudah proses penggilingan dan mempercepat penyerapan bahan curring ke dalam daging sekaligus memisahkan tulang dari daging sehingga daging hasil penggilingan lebih halus tanpa ada serbuk keras yang berasal dari tulang.

Curing

 

Curing adalah proses pengolahan daging dengan tujuan mengawetkan daging dan untuk memperoleh flavor yang diinginkan serta menimbulkan warna merah pada daging. Bahan- bahan yang digunakan dalam proses curring adalah garam dapur, sendawa (campuran nitrat dan nitrit) dan gula.

Daging sapi yang telah dipotong menjadi bagian-bagian kecil kemudian ditambahkan sendawa dan garam kemudian diaduk rata untuk memperoleh warna daging merah stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama proses pengolahan serta memperpanjang daya simpan produk daging. Daging yang mengalami proses curring selanjutnya disimpan pada suhu 2-4°C selama 24 jam.

Penggilingan

 

Daging yang telah mengalami proses curring selanjutnya digiling dengan mesin penggiling (mincer) sehingga diperoleh daging giling/cincang. Proses penggilingan bertujuan untuk memudahkan proses pelembutan.

Pelembutan dan Pengadukan

 

Daging cincang yang dihasilkan dari proses penggilingan selanjutnya dimasukkan ke dalam alat pelembut (meat cutter/silent cutter) selama 5-10 menit pada suhu 10-20°C. Pada proses pelembutan dan pengadukan terdapat dua tahapan proses, yaitu pertama adalah proses pelembutan daging hasil penggilingan, dan kedua adalah proses pengadukan yang bertujuan untuk meratakan bumbu-bumbu, bahan pengisi dan bahan pengikat agar tercampur secara homogen sehingga menghasilkan emulsi yang baik.


Pengisian dan Pengikatan

 

Adonan yang telah diaduk dan dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengisi (sausage filler/vaccuum filler). Mesin ini bekerja semi otomatis untuk mengisi adonan ke dalam selongsong. Adapun tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan sosis sesuai ukuran yang dikehendaki.

Pengisian adonan ke dalam selongsong cukup padat dan tidak ada rongga udara agar dihasilkan sosis dengan penampakan seragam, halus dan memiliki kekenyalan yang baik. Pengisian adonan yang terlalu padat akan menyebabkan selongsong pecah pada saat pemasakan, sedangkan bila pengisian terlalu kendor akan menghasilkan sosis dengan bentuk yang tidak sempurna atau keriput. Selongsong yang telah diisi adonan sosis selanjutnya diikat dengan panjang yang telah ditentukan. Pengikatan dapat dilakukan dengan cara diplintir selonsongnya (biasanya bila menggunakan selongsong alami) atau diikat dengan tali rami.

Pemasakan

 

Pemasakan sosis dilakukan dengan cara dikukus atau direbus pada suhu 85°C selama

±10 menit, sampai suhu di dalam sosis mencapai 78°C. Tujuan dari proses pemasakan adalah untuk membentuk tekstur dan keempukan daging, menghambat pertumbuhan mikroba, pembentukan warna yang lebih menarik, memberi aroma khas pada produk, inaktivasi enzim proteolitik, dan memperpanjang daya simpan.

Pendinginan

 

Setelah selesai proses pemasakan, sosis didinginkan, sebaiknya dengan cara digantung, sampai benar-benar dingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah terjadinya embun pada saat pengemasan dan mengawetkan selama penyimpanan.

Pengemasan

 

Pengemasan bertujuan melindungi sosis terhadap kerusakan yang terlalu cepat baik karena proses kimiawi maupun kontaminasi mikrobial, serta menampilkan produk dengan cara yang menarik.

Pengemasan dilakukan dengan cara memasukkan sosis yang telah dingin ke dalam kemasan yang sesuai dan datur dalam mesin pengemas vakum sehingga dihasilkan produk sosis yang dikemas dalam plastik hampa udara. Pengemasan dengan vakum akan mencegah timbulnya mikroba aerobik atau mikroba patogen lainnya.


Penyimpanan

 

Sosis yang telah dikemas dapat disimpan dalam alat pendingin (chiller) atau pembeku (freezer). Biasanya sosis yang disimpan pada alat pendingin mempunyai ketahanan simpan selama 20 hari. Sedangkan sosis yang disimpan pada alat pembeku dapat bertahan selama kurang lebih 3 bulan.

Untuk mengetahui kualitas produk sosis yang telah rusak dapat dilihat secara fisik, yaitu:

 

1.              warna sosis akan pudar dan berubah menjadi putih,

 

2.              bau dagingnya lebih tajam,

 

3.              kerusakan tinggi akan berlendir,

 

4.              rasanya asam.

JENIS DAN TUJUAN PROSES TERMAL

JENIS DAN TUJUAN PROSES TERMAL Ada beberapa jenis proses pemanasan yang umum diterapkan dalam proses pengalengan pangan, seperti blansir...